HOME

Rabu, 21 Maret 2012

masalah kamboja (perkembangan politik di negara kamboja)


MASALAH KAMBOJA
 




DISUSUN OLEH :
1.           DESI PURI (D.1811026)
2.          PUTRI KARMILA (D.1811072)
3.          RIYANA (D.1811080)
4.          YUNITA DWI L (D.18111O6)

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Daftar Isi
Kata Pengantar
Bab I PENDAHULUAN
a.       Latar belakang masalah
b.      Rumusan masalah
c.       Maksut dan Tujuan penulisan
Bab II PEMBAHASAN
a.       Pengertian Umum
b.      Dosa di Negara Kamboja
c.       Fakta- fakta korban Perang Kamboja
d.      Penyelesaian Masalah Kamboja
-          Internasionalisasi Konflik Kamboja
-          Peran ASEAN dalam Penyelesaian Masalah Kamboja
-          Peran PBB dan Anggota Komunitas Internasional Lainnya
Bab III PENUTUP
a.       Kesimpulan
Daftar Pustaka



KATA PENGANTAR
            Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Bahwa Penulis telah menyelesaikan tugas Mata Pelajaran Azas- Azas Politik dengan Membahas Masalah Kamboja (Perkembangan Politik di Negara Kamboja) dalam bentuk Makalah.
            Dalam penyusunan Tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan Materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang Penulis hadapi teratasi.
            Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Bapak Agung Setiawan selaku Dosen Azas- Azas ilmu Politik
2.      Ibu Ica selaku Dosen Azas- Azas ilmu Politik yang telah memberikan tugas, petunjuk kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
3.      Orang tua yang turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.
Semoga materi makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang di harapkan dapat tercapai.






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Vietnam dijajah oleh Tiongkok sejak tahun 110 SM sampai mencapai kemerdekaan pada tahun 938. Setelah bebas dari belenggu penjajahan Tiongkok, Vietnam tidak berhenti menentang serangan pihak asing.
Pada abad ke-19, Vietnam menjadi wilayah jajahan Perancis. Perancis menguasai Vietnam setelah melakukan beberapa perang kolonial di Indochina mulai dari tahun 1840-an. Ekspansi kekuasaan Perancis disebabkan keinginan untuk menyaingi kebangkitan Britania Raya dan kebutuhan untuk mendapatkan hasil bumi seperti rempah-rempah untuk menggerakkan industri di Perancis untuk menyaingi penguasaan industri Britania Raya.
Semasa pemerintahan Perancis, golongan rakyat Vietnam dibakar semangat nasionalisme dan ingin kemerdekaan dari Perancis. Beberapa pemberontakan dilakukan oleh banyak kelompok-kelompok nasionalis, tetapi usaha mereka gagal. Pada tahun 1919, semasa Perjanjian Versailles dirundingkan, Ho Chi Minh meminta untuk bersama-sama membuat perundingan agar Vietnam dapat merdeka. Permintaannya ditolak dan Vietnam dan seluruh Indochina terus menjadi jajahan Perancis.
Kelompok Viet Minh akhirnya mendapat dukungan populer dan berhasil mengusir Perancis dari Vietnam. Selama Perang Dunia II, Vietnam dikuasai oleh Jepang. Pemerintah Perancis Vichy bekerjasama dengan Jepang yang mengantar tentara ke Indochina sebagai pasukan yang berkuasa secara de facto di kawasan tersebut. Pemerintah Perancis Vichy tetap menjalankan pemerintahan seperti biasa sampai tahun 1944 ketika Perancis Vichy jatuh setelah tentara sekutu menaklukan Perancis dan jendral Charles de Gaulle diangkat sebagai pemimpin Perancis.
Setelah pemerintah Perancis Vichy tumbang, pemerintah Jepang menggalakkan kebangkitan pergerakan nasionalis di kalangan rakyat Vietnam. Pada akhir Perang Dunia II, Vietnam diberikan kemerdekaan oleh pihak Jepang. Ho Chí Minh kembali ke Vietnam untuk membebaskan negaranya agar tidak dijajah oleh kekuasaan asing. Ia menerima bantuan kelompok OSS (yang akan berubah menjadi CIA nantinya).
Pada akhir Perang Dunia II, pergerakan Viet Minh di bawah pimpinan Ho Chí Minh berhasil membebaskan Vietnam dari tangan penjajah, tetapi keberhasilan itu hanya untuk masa yang singkat saja. Pihak Jepang menangkap pemerintah Perancis dan memberikan Vietnam satu bentuk “kemerdekaan” sebagai sebagian dari rancangan Jepang untuk "membebaskan" bumi Asia dari penjajahan barat. Banyak bangunan diserahkan kepada kelompok-kelompok nasionalis.
Perang Saudara Kamboja Bagian dari Perang Vietnam Kamboja
Tahun
1967–1975
Lokasi
Hasil
Didirikannya Kampuchea Demokratik



Masalah kamboja
Dengan terjadinya perang di negara vietnam membawa pengaruh yang besar di bidang politik di Asia Tenggara (Laos, Kamboja,Muangthai, Myanmar) Dalam Makalah ini Penulis membahas tentang “ Perkembangan Politik di Negara Kamboja “
Perang saudara di Kamboja ini adalah imbas dari Perang Vietnam.
Berdasarkan Perjanjian Jenewa (1954) pasukan Vietminh yang ada di Kamboja akan ditarik mundur dan kemidian akan diselenggarakan PEMILU tahun 1956 untuk menentukan kehendak rakyat. Namun perselisihan tetap terjadi di Kamboja. Pangeran Norodom Sihanouk condong kepada blok barat yang bertentangan dengan Son Ngoc Thah ketua partai Demokrat. Ketika Norodom Sihanouk bersikeras untuk mengubah Undang – Undang Dasar, pertentangan pun mencapai puncaknya.
Norodom Sihanouk turun dari tahtanya dan digantikan oleh ayahnya yang bernama Raja Norodom Suramarit. Pada tahun 1960 Norodom Sihanouk kembali memimpin Kamboja. Pada tahun 1967, Norodom Sihanouk mengadakan perubahan Kabinet. Perdana Mentri Jendral Lon Nol digantikan oleh Son Sann. Pada masa itu, hubungan Kamboja dengan Amerika Serikat kurang baik. Bahkan Amerika Serikat menuduh Sihanouk telah memberikan bantuan kepada pasukan Vietkong dan Vietnam utara untuk melawan Amerika Serikat. Pada tahun 1970 Jendral Lon Nol berhasil merebut kekuasaan dan Norodom Sihanouk dipaksa mengungsi ke Beijing (Cina). Pada tahun 1975 jendral Lon Nol digulingkan oleh pasukan Khamer Merah yang berhaluan komunis. Pasukan khamer Merah dipimpin oleh Pol Pot dan berhasil menduduki ibukota Kamboja, Phnon Penh pada bulan April 1975.
            Pada tahun 1979, pasukan Vietnam melancarkan serbuan ke Kamboja dan menggulingkan pemerintahan Khamer Merah yang condong kepada RRC. Kemudian di Kamboja didirikan pemerintahan pro Vietnam dan Uni soviet di bawah pemerintahan  Heng Samrin. Namun demikian, di Kamboja terdapat lawan-lawan Vietnam dan tetap meneruskan perlawanan terhadap pemerintahan Heng Samrin dan Vietnam. Mereka adalah pasukan Khamer Merah dipimpin Khiu Samphan, pasukan Moulika yang di pimpin oleh Nordom Sihanouk (berhaluan non komunis), pasukan Front Pembebasan Rakyat Khamer (KPNLF) di bawah pimpinan bekas Perdana Mentri Son Sann yang melakukan serangan Gerilya. Ketiga gerakan tersebut sepakat untuk membentuk pemerintahan koalisasi di Kamboja untuk mengakhiri pendudukan Vietnam.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merumuskan permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut :

*      Bagaimana Kamboja memperoleh kemerdekaan ?
*      Apa yang memicu perang Saudara di Kamboja ?
*      Dosa-dosa apa sajakah yang dilakukan Pemimpin Kamboja
*      Upaya apa yang dilakukan dalam penyelesaian konflik Kamboja

C.      MAKSUT DAN TUJUAN PENULISAN
ü  Untuk mengetahui kronologi terjadinya perang saudara di Kamboja
ü  Mengetahui Gaya kepemimpinan dari kebijakan- kebijakan yang di ambil oleh para pemimpin yang berkuasa di masa itu.
ü  Mengetahui sejauh mana peran Negara Indonesia dalam menyumbangkan peran aktifnya untuk menyelesaikan masalah Kamboja

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Umum
KAMBOJA atau Kampuchea merupakan negara di Asia Tenggara yang semula berbentuk Kerajaan di bawah kekuasaan Dinasti Khmer di Semenanjung Indo-China antara Abad Ke-11 dan Abad Ke-14. Rakyat Kamboja biasanya dikenal dengan sebutan Cambodian atau Khmer, yang mengacu pada etnis Khmer di negara tersebut. Negara anggota ASEAN yang terkenal dengan pagoda Angkor Wat ini berbatasan langsung dengan Thailand, Laos dan Vietnam. Sebagian besar rakyat Kamboja beragama Buddha Theravada, yang turun-temurun dianut oleh etnis Khmer. Namun, sebagian warganya juga ada yang beragama Islam dari keturunan muslim Cham.
Kamboja menghebohkan dunia ketika komunis radikal Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berkuasa pada tahun 1975. Saat itu, Pol Pot memproklamirkan Kamboja sebagai sebuah negara baru. Ia menyebut tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Tanggal 17 April 1975 dinyatakan sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja.

Merdeka dari Perancis
Pada tanggal 9 November 1953, Perancis mengakhiri penjajahannya di Kamboja yang telah berlangsung sejak tahun 1863 dan Kamboja pun menjadi sebuah negara berdaulat. Setahun kemudian mantan pemimpin negara kawasan Indo-China itu, Raja Norodom Sihanouk, kembali dari pengasingannya di Thailand. Sihanouk kemudian membentuk partai politik dan menggelar pemilihan umum (pemilu). Setelah memenangkan pemilu ia berhasil mengusir orang-orang komunis dan memperoleh seluruh kursi pemerintahan.
Pada tahun 1955, untuk melepaskan diri dari segala bentuk pelarangan yang dibuat untuk raja oleh perundang-undangan Kamboja, Norodom Sihanouk mengembalikan tahta kepada ayahnya, Norodom Suramarit. Ia kemudian memasuki dunia politik. Selama pemilihan berturut-turut, pada tahun 1955,1958, 1962 dan 1966, partai bentukan Norodom Sihanouk selalu memenangkan kursi mayoritas di parlemen.
Pada bulan Maret 1969, Pesawat Amerika mulai mengebom Kamboja untuk menghalangi jejak dan penyusupan dari tentara Vietkong. Pengeboman tersebut berakhir sampai tahun 1973.
Pada tahun 1970, ketika Sihanouk sedang berada di Moskow dalam sebuah kunjungan kenegaraan, Marsekal Lon Nol melakukan kudeta di Phnom Penh. Lon Nol lalu menghapus bentuk kerajaan dan menyatakan Kamboja sebagai sebuah negara republik. Sihanouk tidak kembali ke negaranya dan memilih menetap di Peking, China. Ia memimpin pemerintahan dalam pelarian dan Khmer Merah merupakan bagian dari pemerintahan tersebut.
B.     Dosa di Negara Kamboja
Pada saat Perang Vietnam tahun 1960-an, Kerajaan Kamboja memilih untuk netral. Hal ini tidak dibiarkan oleh petinggi militer, yaitu Jendral Lon Nol dan Pangeran Sirik Matak yang merupakan aliansi pro-AS untuk menyingkirkan Norodom Sihanouk dari kekuasaannya. Dari Beijing, Norodom Sihanouk memutuskan untuk beraliansi dengan gerombolan Khmer Merah, yang bertujuan untuk menguasai kembali tahtanya yang direbut oleh Lon Nol. Hal inilah yang memicu perang saudara timbul di Kamboja.
Peperangan di kamboja terus berlangsung, kendati penyelesaian politik diupayakan lewat jakarta informal meeting. khmer merah di bawah pol pot dan vietnam menanggung dosa, membantai jutaan rakyat.
Dosa itu terletak pada kepemimpinan Khmer Merah di bawah Pol Pot, yang selama tiga tahun (1975 sampai 1978) membantai 1,6 juta orang Kamboja secara sistematis atas nama “kemurnian” bangsa Khmer baru karena Pol Pot yakin bangsa Khmer yang “bersih, murni, baru” hanya bisa dibangun atas dasar perhitungan tentang zaman baru yang dimulai dengan tahun nol. Ideologi totalisme inilah biang keladi permasalahan pokok mengenai Kamboja selang beberapa tahun terakhir.
Dari semula, dosa Pol Pot dan kliknya dibantu RRC dan Amerika Serikat yang menfaatkan argumen hukum internasional (yang kebetulan juga didukung rumus politik Gerakan Nonblok) tentang tak layaknya suatu negara mencampuri urusan dalam negeri bangsa lain. Di balik itu adalah rangkaian dendam kesumat yang tersimpan dalam dada pemimpin RRC mengenai “kekuranganajaran” Vietnam memperlakukan orang-orang Cina selama 1975- 1978.

C.    FAKTA-FAKTA KORBAN PRANG KAMBOJA

Ø  sejarah kelam kamboja "killing fields"
Nyaris tiga dasawarsa berlalu sejak rezim Khmer Merah di bawah Pol Pot digulingkan. Tetapi, sejarah kelam kebrutalan rezim komunis yang berkuasa pada 1975-1979 itu belum bisa sepenuhnya dihapus dari ingatan rakyat Kamboja maupun dunia internasional. Tidak heran, bagi wisatawan yang singgah di Kamboja, lokasi-lokasi bekas peninggalan rezim Khmer Merah sangat diminati untuk disinggahi. Kamp penyiksaan Tuol Sleng serta "ladang pembantaian" (killing field) Choeung Ek adalah dua dari segudang bukti kekejaman Pol Pot yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Choeung Ek adalah 'ladang pembantaian' yang digunakan rezim Khmer Merah selama empat tahun, sebagai lokasi eksekusi orang-orang berpendidikan tinggi dari Phnom Penh.
Ada sekitar 20.000 orang dieksekusi di situ. "Sebagian besar korban yang dieksekusi adalah dokter, pengacara, insinyur, guru, diplomat tinggi, serta kalangan profesional lain," kata Kosal, lulusan Cambodia Mekong University. Mereka yang dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim Lon Nol, yakni pemerintah dukungan AS, tetapi dikenal sangat buruk dan korup. Tanpa pandang bulu, mereka yang diketahui punya ide dan pandangan politik berbeda dengan Pol Pot, ditangkap dan dieksekusi. Penangkapan bahkan kerap terjadi pada orang yang hanya karena berpenampilan intelektual, antara lain dapat berbahasa asing, punya telapak tangan halus, berkaca mata, serta bermata pencarian bukan buruh, petani, atau pekerjaan-pekerjaan kasar lain.
Choeung Ek, yang awalnya lokasi pemakaman warga Tionghoa, berada di kawasan seluas sekitar 2,5 hektare. Sebetulnya, "ladang pembantaian" Choeung Ek berada di sebuah lahan terbuka yang sangat luas. Tetapi setelah dilakukan penggalian kuburan massal, Pemerintah Kamboja menetapkan bahwa ladang pembantaian itu berada di lokasi seluas 2,5 hektare. Setelah jatuhnya rezim Pol Pot pada 1979, ada 86 dari total 129 kuburan massal di Choeung Ek berhasil digali. Sebanyak 8.985 mayat ditemukan di lokasi kuburan massal tersebut.
Cabikan pakaian korban pembantaian hingga kini masih tampak menyembul di sela-sela tanah. Rumput-rumput liar menyelimuti permukaan tanah yang dipenuhi cerukan-cerukan bekas kuburan. Serpihan tulang mudah ditemukan, bertebaran di seantero lahan. Pakaian para korban eksekusi yang lusuh dan lapuk dibiarkan teronggok di bawah pepohonan. Situasi memang tidak diubah agar pengunjung dapat menangkap atmosfer yang memilukan. anak-anak juga menjadi korban.

·         Anak-anak juga menjadi korban
Dari kondisi tengkorak para korban, setidaknya bisa diketahui eksekusi dilakukan sangat brutal. "Eksekusi dilakukan tidak dengan ditembak atau cara-cara lain yang dapat menimbulkan kegaduhan. Korban secara berkelompok digiring ke pinggir lobang kuburan massal lalu dieksekusi dengan alat-alat pertanian, misalnya cangkul atau pacul, yang dihantamkan ke bagian kepala," tutur Kosal.
Musik diputar keras-keras dari megafon yang digantung di "pohon ajaib", untuk meredam lolongan kesakitan. Korban tidak bisa melarikan diri karena tangan dan kaki dibelenggu, sementara mata ditutup rapat.
Fakta pembantaian intelektual Kamboja terbilang mengherankan. Tidak kurang Donna Baker, diplomat dari Kementerian Luar Negeri Australia yang ikut bersama para wartawan ke Tuol Sleng dan Choeung Ek, juga mempertanyakan hal itu. "Di Rusia, yang juga negara komunis, para intelektual tetap diperkenankan hidup. Mengapa di Kamboja mereka semua dibantai? Apa karena mereka sebelumnya bekerja di bawah rezim Lon Nol?" kata Donna.
Dari penyelidikan pascajatuhnya Pol Pot, yang bernama asli Saloth Sar, diyakini dia ingin mengembangkan komunisme ekstrem. Rezim Pol Pot ingin membangun segala sesuatunya dari awal. Maka, pada 17 April 1975, Kamboja diproklamasikan Pol Pot sebagai negara baru. Ia menyebut tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Pol Pot memproklamasikan 17 April 1975 sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja
Banyak tentara Khmer Merah akhirnya menyadari ada yang salah dari ideologi komunis ala Pol Pot. Mereka melarikan diri dari Kamboja dan bergabung dengan pasukan Vietnam untuk menggulingkan rezim brutal itu. Pol Pot jatuh di tangan tentaranya sendiri yang membelot ke Vietnam. 7 Januari 1979 adalah hari pembebasan dari cengkeraman rezim Khmer Merah. Banyak tentara Khmer Merah yang diperkenankan bergabung dengan pemerintahan Kamboja pasca Pol Pot. PM Hun Sen, misalnya, dulu adalah deputi komandan resimen Khmer Merah. Tetapi, ia kabur ke Vietnam pada 1977.
Penegakan hukum tetap diberlakukan ke sejumlah pemimpin papan atas Khmer Merah yang berwatak kriminal, khususnya Deuch yang bernama asli Kaing Khek Iev. Pada 1975-1979, Deuch menjabat sebagai Direktur S-21. Sejak 1999, Deuch mendekam di tahanan menanti persidangan atas pelanggaran HAM.
Harus diakui, menapaki jejak peninggalan rezim Khmer Merah sungguh tidak nyaman. Perut terasa mual. Tetapi, wisata ke Tuol Sleng dan "ladang pembantaian" Choeung Ek setidaknya bisa mengingatkan kita pada sejarah kebrutalan pada masa lalu, yang seharusnya tidak terulang kembali.

http://www.ourreallybigadventure.com/southeastasia/cambodia/pictures/phnom/1killing_fields_skulls.jpg

http://www.spraguephoto.com/stock/images/Cambodia/km05-246%20War%20Cambodia%20Skulls%20of%20people%20murdered%20by%20the%20Khmer%20Rouge%20at%20the%20Killing%20Fields%20National%20Monument%20Pnom%20Penh%20Cambodia%20%0D%0A.jpg

foto tengkorak korban pembantaian khmer-merah




D.    Penyelesaikan Masalah Kamboja
Pada tahun 1970 di Kamboja terjadi kudeta. Pada waktu itu Kamboja dipimpin oleh Pangeran Norodom Sihanouk. Pada tanggal 18 Maret 1970 ketika Pangeran Norodom Sihanouk berada di luar negeri, keponakannya yang bernama Pangeran Sisowath Sirik Matak bersama Lo Nol melakukan kudeta atau perebutan kekuasaan. Sejak peristiwa tersebut terjadi perang
saudara yang berlangsung lama dan berlarut-larut. Keadaan Kamboja menjadi porak poranda, rakyatnya sangat menderita.
Melihat kejadian yang berlarut-larut di Kamboja tersebut, Indonesia berusaha untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai atau berperang dengan cara mempertemukan mereka dalam suatu perundingan. Akhirnya, dibentuklah Jakarta Informal Meeting (JIM). Artinya, pertemuan tidak resmi yang diadakan di Jakarta tahun 1988. Pertemuan di Jakarta dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas sebagai penengah di antara pihak-pihak yang bertikai. Dengan adanya pertemuan tersebut pihak-pihak yang bertikai bersepakat untuk melakukan perdamaian. Pertemuan di Jakarta itu kemudian ditindaklanjuti dengan
diselenggarakannya perundingan perdamaian di Paris, Prancis pada tahun 1989
The Paris International Conference on Cambodia pada tahun 1991 yang menandai berakhirnya konflik Kamboja. Secara garis besar pembahasan dalam penyelesaian masalah Kamboja ini dibagi kedalam empat bagian yakni faktor-faktor yang menjadi akar konflik di Kamboja, konflik Kamboja sebagai konflik internal yang akan memberikan gambaran akan latar belakang konflik sejak awal mula terjadinya pergolakan di dalam negeri sehingga Kamboja terjerumus ke dalam konflik internal hingga akhirnya klimaks dari konflik ditandai dengan intervensi Vietnam ke Kamboja yang mengundang reaksi keras dari negara-negara di kawasan serta komunitas internasional, internasionalisasi konflik Kamboja yang akan menjelaskan bagaimana fase konflik memasuki tahap internasionalisasi di mana pendudukan rezim Vietnam di Kamboja tidak hanya mengganggu stabilitas keamanan di kawasan, namun juga menentang norma-norma dan hukum internasional yang berlaku sehingga mengganggu perdamaian dunia, proses penyelesaian konflik Kamboja melalui fase dialog dan mediasi terhitung sejak digelarnya Jakarta Informal Meeting di Indonesia pada tahun 1988.
1.      INTERNASIONALISAI KONFLIK KAMBOJA
Pasca invasi rezim Vietnam yang mendirikan pemerintahannya melalui People’s Republic of Kampuchea (PRK) maka spontan hal ini mendapatkan reaksi yang keras dari komunitas internasional. Hal yang menjadi esensi dalam perkembangan konflik di Kamboja ini yaitu kendati dunia telah mengutuk tindakan yang dilakukan oleh DK melalui perbuatan ketidakmanusiannya, namun intervensi kekuatan asing melalui penggunakan kekuatan militernya untuk menjatuhkan rezim yang tengah menjadi sorotan dunia tersebut tetap tidak dapat dibenarkan.

bendera kamboja
Gambar : Bendera Negara Kamboja

Konflik di Kamboja selanjutnya memasuki tahap internasionalisasi yang intensif, di mana tahun-tahun berikutnya perkembangan konflik diwarnai dengan pergolakan di dalam negeri melalui pihak-pihak oposisi yang masing-masing berupaya untuk mengumpulkan kekuatan demi menjatuhkan pemerintahan PRK yang tak lain merupakan kepanjangan tangan Vietnam di Kamboja. Sementara itu, komunitas dunia dalam kerangka regional maupun global mulai meningkatkan perhatiannya terhadap konflik yang telah mencapai antiklimaks. ASEAN sebagai organisasi regional menyadari bahwa implikasi dari pendudukan Vietnam terhadap Kamboja telah merusak visinya untuk menjadikan suatu komunitas Asia Tenggara yang kelak juga akan mengikut sertakan Vietnam, Kamboja dan Laos. Invasi ini juga menjadi perhatian utama ASEAN sebagai aksi solidaritas, Vietnam telah mengancam keamanan Thailand sebagai salah satu anggota ASEAN yang berbatasan langsung dengan Kamboja.
Namun demikian, ASEAN tetap menjaga berbagai batasan yang dihadapi dalam upayanya untuk menyelesaikan konflik. Hal ini dilandasi pada pemikiran bahwa konflik Kamboja pada dasarnya merupakan konflik internal antara kelompok-kelompok Khmer yang mana ASEAN sebagai pihak luar tidak memiliki kewenangan untuk menghalangi atau turut campur.
Untuk itu ASEAN lebih mencoba untuk memanfaatkan pengaruhnya melalui lobi anggota komunitas internasional serta memobilisasi dukungan melalui diplomasi kolektif di forum internasional. Selanjutnya upaya ASEAN untuk menyatukan dukungan dari forum internasional pada akhirnya berhasil tersalurkan ketika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Juli tahun 1981 menggelar Konferensi Internasional untuk Kamboja yang dikenal dengan nama International Conference on Kampuchea (ICK). Inilah untuk pertama kali konferensi tingkat internasional digelar untuk merespon dinamika konflik yang tengah bergejolak di Kamboja, sehingga konferensi ini bertujuan untuk menemukan solusi penyelesaian politik yang komprehensif dalam forum multilateral.


2. PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN MASALAH KAMBOJA
Upaya menuju penyelesaian politik yang menyeluruh dimulai pada tahap regional, di mana dalam menyikapi konflik Kamboja, ASEAN meletakan dasar pemikirannya atas dua hal yaitu, dinamika politik, ekonomi, dan sosial dalam tubuh ASEAN sendiri, dan tingkat encaman eksternal serta situasi regional ataupun internasional yang dapat berpengaruh terhadap persepsi ASEAN dalam penyelesaian masalah tersebut.
Pada tingkat regional, dimulai sejak masa jatuhnya rezim pemerintaan Pangeran Sihanouk di tahun 1970, para Menteri Luar Negeri ASEAN telah mencoba untuk membahas secara intensif konflik yang mulai marak di Kamboja. Negara-negara yang tergabung dalam forum ASEAN ini berupaya untuk mencapai suatu kesepakatan bersama agar dapat merumuskan formulasi yang tepat, sehingga pada mulanya organisasi ini dapat berfungsi sebagai mediator untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai pada saat itu. Negara-negara menginginkan agar seyogyanya setiap pihak dapat bekerja sama dalam mencegah semakin luasnya konflik yang melanda Kamboja sebagai penghormatan atas Piagam PBB dan juga Konferensi Jenewa tahun 1954 mengenai kawasan Indochina demi menciptakan suasana yang kondusif di Kamboja. Terhitung sejak dibentuknya CGDK sebagai koalisi pemerintahan pada tahun 1982, negara-negara ASEAN secara aktif mendukung resolusi PBB yang mengakui CGDK sebagai badan pemerintah yang sah di Kamboja, dan untuk itu memiliki legitimasi dan hak untuk duduk di Majelis Umum PBB sebagai wakil Kamboja. ASEAN melalui para Menlunya pada tanggal 21 September 1983 mengeluarkan keputusan bersama terhadap upaya rekonsiliasi di Indochina dengan penarikan keluar pasukan Vietnam dari Kamboja dengan batas waktu yang ditentukan.
Selanjutnya dalam komunikasi bersama pertemuan tingkat menteri ASEAN ke 17 yang digelar di Jakarta tanggal 9-10 Juli 1984, para menlu ASEAN menegaskan kembali posisi mereka untuk mencari penyelesaian politik yang komprehensif dan menguatkan keabsahan kemerdekaan Kamboja pada 21 September 1983 sebagai dasar dari penyelesaian politik yang menyeluruh di Kamboja. Hal ini kembali ditegaskan pada serangkaian pertemuan Menlu ASEAN berikutnya yaitu di Jakarta pada November 1983, di Kuala Lumpur pada bulan Desember 1983 dan kembali di Jakarta pada bulan Januari 1984.
Selanjutnya ASEAN mengajukan prakarsa untuk mengundang faksi-faksi yang bertikai di Kamboja agar turut hadir pada peringatan 30 Tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1985. Dalam pertemuan ini Indonesia dan Malaysia kembali memiliki kesamaan pandangan terhadap penyelesaian konflik Kamboja dengan mencetuskan gagasan Proximity Talks. Pada intinya usulan yang berada di bawah ruang lingkup ASEAN ini bertujuan untuk mempertemukan semua faksi yang bertikai di Kamboja ditambah dengan Vietnam untuk bernegosiasi.
Bagi ASEAN sendiri, upaya ini dilandaskan pada konsep Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) yang dicanangkan pada tahun 1971. ZOPFAN menjamin perdamaian, keamanan serta kedaulatan bersama negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang netral dan bebas dari campur tangan pihak luar. Di tingkat global, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1981, PBB menggelar Konferensi Internasional untuk Kampuchea (ICK) yang walaupun dinilai tidak terlalu berhasil, namun konferensi ini telah membangun suatu pondasi prakarsa untuk secara konsensus mengupayakan solusi yang komprehensif untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia.
Gagasan pembicaraan intensif antara ASEAN dan pihak-pihak yang bertikai di Kamboja yaitu CGDK dan pemerintahan Heng Samrin di Phnom Penh pada perkembangannya kurang mendapat dukungan dan menemui jalan buntu, baik secara kolektif dari negara-negara ASEAN, maupun dari pihak CGDK dan Vietnam sendiri. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada bulan September 1985, Sihanouk mengusulkan suatu Cocktail Party yang dapat mengakomodir pihak-pihak yang bersengketa di Kamboja beserta negara-negara yang terkait untuk dapat membicarakan penyelesaian masalah Kamboja.
Pada bulan November 1985 atau kurang lebih dua bulan setelah itu, Indonesia menyatakan kesediaannya untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Cocktail Party tersebut. Terhitung sejak wacana Cocktail Party direncanakan, hingga penentuan tanggal pelaksanaan acara tercatat serangkaian kendala yang berpotensi untuk menggagalkan penyelenggaraan acara dimaksud. Munculnya berbagai kendala ini tak lain disebabkan oleh perbedaan pendapat dan agenda kepentingan masing-masing pihak yang bertikai Kendati jalan panjang dan melelahkan harus dilewati untuk merealisasikan rencana gagasan pertemuan tersebut, akhirnya rencana pertemuan resmi pertama tersebut berhasil diadakan pada tanggal 25–28 Juli 1988 di Bogor, Indonesia.
Pertemuan yang dikenal dengan Jakarta Informal Meeting I (JIM I) ini menampilkan terobosan untuk pertama kalinya, di mana pihak-pihak yang secara langsung terlibat di dalam konflik, yaitu keempat faksi, kedua tetangga Indochina dan enam negara ASEAN bertemu untuk mendiskusikan elemen-elemen mekanisme penyelesaian awal. Sekalipun pembicaraan antar faksi berjalan cukup alot karena masing-masing bersikeras mempertahankan posisinya, namun hasil dari pertemuan ini dinilai cukup efektif untuk menyepakati persepsi dan kesepahaman bersama sehingga beberapa rekomendasi dapat dilahirkan dengan penekanan pada pemisahan dua isu yaitu berkaitan dengan invasi Vietnam, Vietnam untuk menarik mundur pasukannya dari Kamboja sebagai itikad baik penyelesaian konflik, kesepahaman mengenai pentingnya pencegahan berkuasanya kembali rezim Pol Pot yang telah mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Kamboja, pembentukan kelompok kerja guna membahas elemen-elemen dasar dari konflik itu sendiri dan menyusun usulan-usulan sebegai bahan masukan bagi pertemuan selanjutnya.
Dalam rangka menindaklanjuti JIM I, pada tanggal 16-18 Februari 1989 digelar JIM II yang turut dihadiri oleh negara-negara peserta JIM I. Pada pertemuan ini dapat disepakati berbagai kemajuan yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dan penyeragaman persepsi dari hasil pertemuan pertama. Beberapa hasil yang menonjol diantaranya adalah penarikan seluruh pasukan Vietnam yang harus segera dilakukan dengan batas waktu 30 September 1989 sebagai bagian dari kerangka penyelesaian politik yang menyeluruh. Kemudian dibahas pula mengenai himbauan penghentian keterlibatan pihak asing termasuk dukungan militer dan persenjataan terhadap masing-masing pihak yang bertikai di Kamboja.
Demi terselenggaranya rencana ini dengan baik, maka perlu dibentuk suatu mekanisme pengawasan internasional yang memiliki mandat untuk memonitor jalannya proses ini dan aspek-aspek yang terkait lainnya. Selanjutnya adalah penentuan langkah-langkah konkrit yang harus diambil guna mengantisipasi munculnya kembali kebijakan rezim kekerasan dan kekejaman yang dapat mengakibatkan kesengsaraan masyarakat Kamboja, dan yang tidak ketinggalan adalah kesepakatan dari setiap pihak untuk dimulainya program internasional dalam rangka pemulihan dan pembangunan ekonomi di Kamboja serta negara-negara di kawasan dan pengumpulan dana dalam rangka pelaksanaan proses perdamaian di Kamboja. Pertemuan ASEAN di Brunei pada tanggal 3-4 Juli 1989 telah memformulasikan suatu pijakan bersama atas konflik Kamboja sebagai hasil dari pertemuan JIM I dan JIM II. 3. PERAN PBB DAN ANGGOTA KOMUNITAS INTERNASIONAL LAINNYA
Selain peran ASEAN sebagai aktor eksternal yang memberikan kontribusi terhadap penyelesaian konflik Kamboja, menjelang akhir tahun 1980-an, fokus perhatian telah bergeser dari inisiatif regional menuju internasional. Hal ini ditandai dengan perubahan-perubahan pola interaksi baik dari masing-masing pihak yang berselisih, antara aktor-aktor regional di kawasan Asia Tenggara, hingga negara-negara besar juga merasa berkepentingan untuk memberikan andil terhadap upaya proses penyelesain konflik seperti Perancis dan Australia.
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai peran PBB dan anggota komunitas internasional lainnya yang bersama-sama dengan ASEAN telah memberikan andil yang signifikan terhadap proses tercapainya resolusi konflik. Faktor-faktor pendukung kesuksesan dalam penyelesaian konflik yang menyeluruh dapat disandangkan pada pembentukan Supreme National Council (SNC) dan United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC).
Kiprah PBB dalam mengupayakan perdamaian di Kamboja diawali dengan diselenggarakannya International Conference on Kampuchea pada tahun 1981. Namun seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, inisiatif ini gagal untuk menghadirkan negara-negara pendukung Vietnam untuk hadir.
Konsep untuk memperluas kerangka penyelesaian secara internasional pun mendapat dukungan dari negara-negara anggota ASEAN seperti yang disepakati bersama pada pertemuan tingkat menteri ASEAN di Bandar Seri Begawan tanggal 21 Januari 1989. Dalam kesepakatan itu, negara-negara ASEAN mulai memandang perlunya melibatkan negara-negara di luar kawasan dan juga perlu diadakannya suatu konferensi internasional untuk menindaklanjuti hasil pencapaian dari JIM yang diadakan di Indonesia. Hal ini disambut baik oleh Perancis yang juga memiliki sejarah kedekatan dengan Kamboja.
Perancis kemudian menggagas prakarsa untuk menyelenggarakan konferensi internasional mengenai Kamboja. Tanpa bermaksud untuk menampik peran Indonesia sebagai partner yang mengantar upaya penyelesaian konflik Kamboja sampai tahapan ini, maka kedua negara memutuskan untuk mengetuai bersama penyelenggaraan Paris International Conference on Cambodia (PIC) di Perancis pada tanggal 30-31 Juli 1989 di Paris, Perancis. Pertemuan yang diketuai bersama oleh Perancis dan Indonesia tersebut turut didukung oleh ASEAN yang bersama dengan 19 negara lainnya berasal baik di dalam kawasan dan juga di luar kawasan yang untuk pertama kalinya turut berpartisipasi dalam pembicaraan lanjutan dari JIM I dan JIM II. Dengan turut hadirnya negara–negara di luar kawasan, maka kerangka dialog dan negosiasi telah semakin diperluas, dan menandakan bahwa tahapan penyelesaian konflik telah mencapai tingkat internasional. Kemajuan ini diharapkan akan membawa warna baru terhadap pola komunikasi, guna segera tercapainya suatu solusi yang konkrit. Hal ini terbukti melalui hasil yang dicapai pada PIC di mana telah disusun sebuah kerangka pembentukan suatu mekanisme pengawasan internasional yang berfungsi untuk mengawasi proses penarikan mundur pasukan Vietnam dan memantau berbagai permasalahan dalam negeri Kamboja.
Namun serangkaian dialog dan negosiasi tersebut masih tetap belum dapat mencapai hasil yang konkrit dan bentuk penyelesaian yang pasti dalam penyelesaian konflik. Satu kemajuan yang dinilai sangat berarti yaitu walaupun terjadi banyaknya kebuntuan melalui media diplomasi. Vietnam tetap memenuhi komitmennya untuk menarik mundur seluruh pasukannya dalam batas waktu yang ditentukan yaitu September 1989.
Inisiatif berskala international telah digagas dan diselenggarakan. Namun fakta di lapangan tidak kunjung menampakan perubahan yang lebih baik. Faksi-faksi yang bertikai kembali terlibat dalam peperangan di Kamboja. Melihat kondisi ini, pihak Australia mengajukan usul mengenai pembentukan suatu badan pengawasan oleh PBB yaitu International Control Commision and Supervision (ICCS) dengan tujuan agar Dewan Keamanan PBB dapat lebih menjajaki aspek penyelesaian konflik secara lebih komprehensif. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan dengan mekanisme pengosongan kursi Kamboja di PBB yang selama ini diisi oleh CGDK serta meniadakan kedaulatan rezim pemerintahan Phnom Penh yang dipimpin oleh Hun Sen. Menindaklanjuti usulan tersebut, lima anggota Dewan Keamanan PBB (DK PBB) kemudian menjajaki kerangka pemerintahan sementara di Kamboja yang aktif bertugas hingga terselenggaranya pemilihan umum.
Melalui berbagai perkembangan tersebut, diselenggarakanlah pertemuan selanjutnya Informal Meeting on Cambodia (IMC) di Jakarta pada tanggal 26-28 Februari 1990. Pertemuan ini dipimpin oleh Menlu Ali Alatas dan berkomposisi peserta yang tidak jauh berbeda dengan peserta pada PIC, hanya ditambah dengan seorang utusan khusus Sekjen PBB Raefuddin Ahmed serta undangan khusus bagi pihak Australia atas apresiasi terhadap usulan yang digagasnya, Australia bertindak sebagai resource delegation, dimana Menlu Australia Gareth Evans yang turut hadir bertindak sebagai narasumber.
Seperti halnya kegagalan yang dicapai pada PIC, hal ini kembali terulang pada IMC di Jakarta. Pertemuan tersebut tidak mampu untuk mencapai suatu kesepakatan bersama karena pemimpin Khmer Merah, Khieu Sampan menolak pencantuman kata genosida dalam naskah kesepakatan yang telah dirancang dan mendapatkan persetujuan dari seluruh peserta. Di lain pihak, Hun Sen juga menyatakan tidak bersedia untuk menerima referensi Vietnamisasi pada rancangan naskah tersebut. Dengan demikian teks komunike bersama tersebut praktis menjadi gugur. Hal ini disebabkan karena sistem pengambilan keputusan didasarkan pada kebulatan suara sekalipun secara prinsip, pertemuan telah berhasil mencapai kemajuan-kemajuan yang signifikan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Kendati tidak menghasilkan suatu dokumen atau kesepakatan yang bisa dijadikan landasan bagi usaha penyelesaian selanjutnya, namun dapat dicatat bahwa hasil yang menonjol dari pembahasan tersebut adalah persetujuan seluruh pihak atas pembentukan Dewan Agung Nasional atau Supreme National Council (SNC) yang akan bertindak sebagai pemerintah sementara di Kamboja. Terobosan ini tak disangkal mencatat kemajuan yang sangat signifikan sebagai lambang kedaulatan dan kesatuan nasional Kamboja. Sementara itu, komposisi jabatan dan tanggung jawab dari SNC itu sendiri akan ditentukan kemudian oleh keempat faksi.
SNC dipastikan akan mendapat dukungan dari dunia internasional. Dalam rangka mensukseskan rencana ini, maka peran negara besar seperti Amerika Serikat sangatlah dibutuhkan mendorong CGDK agar rela turun dari kursinya di PBB sehingga dapat memberi kesempatan kepada SNC untuk mewakili kursi Kamboja baik di Majelis Umum PBB ataupun di badan-badan khusus lainnya dan memberikan tekanan kepada musuh lamanya yaitu Vietnam agar bersedia untuk segera menyelesaikan masalah Kamboja. Dalam kaitan ini, pihak Amerika Serikat yang belum lama ini keluar sebagai pemenang dalam masa Perang Dingin, maka perubahan politik dunia ini secara tidak langsung akan meningkatkan pengaruh pihak Amerika Serikat terhadap proses penyelesaian konflik di Kamboja.
Dalam konteks proses negosiasi dapat dikatakan bahwa upaya yang dilakukan oleh pihak Perancis untuk melibatkan komunitas internasional melalui PIC belum dapat menghasilkan terobosan-terobosan baru demi tercapainya penyelesaian yang menyeluruh atas konflik di Kamboja. Apabila dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan informal yang dilakukan oleh Indonesia dan ASEAN pada tahapan-tahapan awal yaitu untuk mempertemukan keempat faksi yang bertikai agar dapat duduk bersama di JIM dan IMC. Kemajuan yang sangat terbatas ini hanya berdampak pada penderitaan rakyat Kamboja yang semakin berkepanjangan. Pertikaian yang menggunakan kekerasan masih kerap terjadi, baik di dalam tubuh CGDK sendiri ataupun antara faksi yang tergabung dalam CGDK dengan rezim Phnom Penh dukungan Vietnam.
Atas dasar perkembangan di atas, maka diadakanlah IMC kedua pada tanggal 9-10 September 1990 di Jakarta. Pada pertemuan ini kembali Indonesia dan Perancis bertindak sebagai ketua bersama. Seperti yang sudah dirancang sebelumnya, Dewan Keamanan membentuk SNC (Supreme National Council) yang bertindak sebagai wakil pemerintahan yang sah atas Kamboja di forum internasional. Dalam pernyataan bersama yang dihasilkan pada pertemuan ini, secara kompromi seluruh faksi yang bertikai di Kamboja menanggapi secara positif kerangka kerja ini sebagai basis dari skema penyelesaian komprehensif.
Pembentukan SNC berkomposisi dua belas anggota yang terdiri dari enam anggota State of Cambodia (SOC) dan dua dari masing-masing ketiga faksi dalam Government of Cambodia (NGC). Kesepakatan yang berhasil dicapai ini kemudian didukung oleh Dewan Keamanan, yang langsung mengadopsi suatu resolusi PBB guna mengesahkan kerangka kerja tersebut sebagai basis dari suatu penyelesaian yang komprehensif di Kamboja (Resolusi No. 668 Th.1990).
Pasca pembentukan SNC oleh Dewan Keamanan, Sekjen PBB kemudian menggagas dibentuknya United Nations Advance Mission in Cambodia (UNAMIC) yang memiliki fungsi untuk memantau pelaksanaan gencatan senjata masing-masing faksi di Kamboja selama periode pembentukan United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC). Usulan ini kemudian disahkan oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi No. 717 tanggal 16 Oktober 1991, dan pembentukan UNAMIC segera diaktifkan setelah ditandatanganinya comprehensive settlement agreements. Perkembangan selanjutnya, diusulkanlah penyelenggaraan pertemuan lanjutan untuk membantu memformulasikan suatu pijakan final bersama atas konflik Kamboja. Kemudian lima anggota Dewan Keamanan PBB mengajukan suatu dokumen yang berjudul ’Framework for a Comprehensive Political Settlement of the Cambodian Conflict’ yang diantara isinya mengajukan ketentuan untuk membentuk otoritas transisional PBB di Kamboja atau UNTAC. UNTAC ditujukan untuk mengimplementasikan penyelesaian yang komprehensif dalam rangka memastikan situasi yang kondusif dalam lingkungan politis yang netral sehingga pemilihan umum dapat terlaksana dengan bebas dan adil. Pihak-pihak serta lembaga-lembaga administrasi pemerintah yang memiliki wewenang terhadap pelaksanaan pemilu, akan diawasi langsung oleh UNTAC. Namun yang menjadi tugas utama dari UNTAC adalah pengawasan genjatan senjata antara faksi-faksi yang bertikai dan memverifikasi penarikan mundur pasukan asing dari Kamboja.
Dari seluruh uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konflik Kamboja telah melewati suatu metamorfosa atau proses pembentukan yang telah mencapai kematangan. Historis konflik Kamboja yang panjang akhirnya berhasil diselesaikan melalui upaya mediasi yang komprehensif melalui serangkaian tindakan yang dilakukan oleh para mediator dengan didasarkan pada hukum-hukum internasional yang berlaku. Serangkaian pembicaraan formal dan non formal yang melibatkan banyak pihak pada akhirnya mampu melahirkan kesepakatan Paris yang ditandatangani dalam Paris International Conference on Cambodia pada tahun 1991. Kesepakatan Paris telah muncul sebagai suatu kerangka kerja yang sah bagi penyelesaian konflik Kamboja sekaligus menjadi pertanda berakhirnya konflik berkepanjangan di Kamboja.
Kesepakatan Paris yang merupakan hasil akhir dari rangkaian proses perdamaian Kamboja selanjutnya menandai suatu awal baru bagi kehidupan Kamboja selanjutnya. Kesepakatan Paris tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.       Final act konferensi Paris mengenai Kamboja.
b.      Persetujuan tentang penyelesaian masalah politik secara menyeluruh konflik Kamboja berikut lampiran-lampirannya berupa mandat UNTAC, masalah militer, pemilihan umum, repatriasi para pengungsi Kamboja, dan prinsip-prinsip konstitusi baru Kamboja.
c.       Kesepakatan tentang kedaulatan, kemerdekaan, integrasi wilayah, netralitas, dan keutuhan nasional Kamboja.
d.      Deklarasi mengenai rehabilitasi dan pembangunan Kamboja.
Setelah naskah kesepakatan tersebut ditandatangani semua pihak, dua naskah asli dari kesepakatan tersebut disimpan oleh Indonesia dan Perancis sebagai ketua bersama, untuk kemudian hasilnya dilaporkan kepada Sekjen PBB sebelum dibahas pada sidang DK PBB. Selanjutnya, naskah akan diajukan ke Sidang Umum PBB untuk pelaksanaan.






DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas












BAB III
KESIMPULAN
Kamboja mendapatkan kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1953 dengan Raja Norodhom Cihanoek . Norodhom Cihanoek memutuskan untuk beraliansi dengan gerombolan Khamer Merah untuk merebut tahtanya yang diambil oleh  Lon Nol. Hal ini lah yang memicu perang saudara di Kamboja. Pada saat memangku jabatan para pemimpin negara Kamboja melaksanakan sistem pemerintahan secara kejam terhadap rakyat – rakyatnya. Negara Kamboja menerapkan sistem agraris murni sehingga terjadi peristiwa “Killing Fieald”. Khamer Merah dibawah Pol Pot dan Vietnam menanggung dosa atas terjadinya peristiwa yang memilukan bagi seluruh rakyat yang tinggal di negara itu. Peristiwa itu di kenal dengan pembantaian. Pembantaian yang di laksanakan di massa kepemimpinan Khamer  Merah yang di bawahi oleh Pol Pot selama 3 tahun (1975 – 1978) telah memmbantai 1,6 juta orang di Kamboja. Korban yang dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim Lon Nol. Sebagian besar korbannya dieksekusi ialah dokter,pengacara,insinyur.guru,diplomat tinggi serta kalangan profesional. Kemudian janazah para korban itu di makamkan di kawasan Choeung Ek seluas 2,5 hektar. Beberapa konferensi telah di lakukan untuk untuk mengatasi masalah konflik di Kamboja. Diantaranya adalah CGDK,JIM,SNC. Konflik Kamboja dapat di selesaikan melalui konferensi “The Paris International Conference On Combodia” pada tahun 1991. Kesepakatan Paris yang merupakan hasil akhir dari rangkaian proses perdamaian kamboja selanjutnya menandai suatu awal baru bagi kehidupan kamboja berikutnya.