MASALAH KAMBOJA
DISUSUN OLEH :
1.
DESI PURI (D.1811026)
2.
PUTRI KARMILA (D.1811072)
3.
RIYANA (D.1811080)
4.
YUNITA DWI L (D.18111O6)
FAKULTAS ILMU
SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
DAFTAR
ISI
Halaman Judul
Daftar Isi
Kata Pengantar
Bab I PENDAHULUAN
a. Latar
belakang masalah
b. Rumusan
masalah
c. Maksut
dan Tujuan penulisan
Bab II PEMBAHASAN
a. Pengertian
Umum
b. Dosa
di Negara Kamboja
c. Fakta-
fakta korban Perang Kamboja
d. Penyelesaian
Masalah Kamboja
-
Internasionalisasi Konflik Kamboja
-
Peran ASEAN dalam Penyelesaian Masalah
Kamboja
-
Peran PBB dan Anggota Komunitas
Internasional Lainnya
Bab III PENUTUP
a. Kesimpulan
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Bahwa
Penulis telah menyelesaikan tugas Mata Pelajaran Azas- Azas Politik dengan
Membahas Masalah Kamboja (Perkembangan Politik di Negara Kamboja) dalam bentuk
Makalah.
Dalam penyusunan Tugas atau materi ini, tidak sedikit
hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan Materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang
tua, sehingga kendala-kendala yang Penulis hadapi teratasi.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak
Agung Setiawan selaku Dosen Azas- Azas ilmu Politik
2. Ibu
Ica selaku Dosen Azas- Azas ilmu Politik yang telah memberikan tugas, petunjuk
kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
3. Orang
tua yang turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga
tugas ini selesai.
Semoga
materi makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran yang
membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang di harapkan dapat
tercapai.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Vietnam
dijajah oleh Tiongkok sejak tahun 110 SM sampai mencapai kemerdekaan pada tahun
938. Setelah bebas dari belenggu penjajahan Tiongkok, Vietnam tidak berhenti
menentang serangan pihak asing.
Pada
abad ke-19, Vietnam menjadi wilayah jajahan Perancis. Perancis menguasai
Vietnam setelah melakukan beberapa perang kolonial di Indochina mulai dari
tahun 1840-an. Ekspansi kekuasaan Perancis disebabkan keinginan untuk menyaingi
kebangkitan Britania Raya dan kebutuhan untuk mendapatkan hasil bumi seperti rempah-rempah
untuk menggerakkan industri di Perancis untuk menyaingi penguasaan industri
Britania Raya.
Semasa
pemerintahan Perancis, golongan rakyat Vietnam dibakar semangat nasionalisme
dan ingin kemerdekaan dari Perancis. Beberapa pemberontakan dilakukan oleh
banyak kelompok-kelompok nasionalis, tetapi usaha mereka gagal. Pada tahun
1919, semasa Perjanjian Versailles dirundingkan, Ho Chi Minh meminta untuk
bersama-sama membuat perundingan agar Vietnam dapat merdeka. Permintaannya
ditolak dan Vietnam dan seluruh Indochina terus menjadi jajahan Perancis.
Kelompok
Viet Minh akhirnya mendapat dukungan populer dan berhasil mengusir Perancis
dari Vietnam. Selama Perang Dunia II, Vietnam dikuasai oleh Jepang. Pemerintah
Perancis Vichy bekerjasama dengan Jepang yang mengantar tentara ke Indochina
sebagai pasukan yang berkuasa secara de facto di kawasan tersebut. Pemerintah
Perancis Vichy tetap menjalankan pemerintahan seperti biasa sampai tahun 1944
ketika Perancis Vichy jatuh setelah tentara sekutu menaklukan Perancis dan
jendral Charles de Gaulle diangkat sebagai pemimpin Perancis.
Setelah
pemerintah Perancis Vichy tumbang, pemerintah Jepang menggalakkan kebangkitan
pergerakan nasionalis di kalangan rakyat Vietnam. Pada akhir Perang Dunia II,
Vietnam diberikan kemerdekaan oleh pihak Jepang. Ho Chí Minh kembali ke Vietnam
untuk membebaskan negaranya agar tidak dijajah oleh kekuasaan asing. Ia
menerima bantuan kelompok OSS (yang akan berubah menjadi CIA nantinya).
Pada
akhir Perang Dunia II, pergerakan Viet Minh di bawah pimpinan Ho Chí Minh
berhasil membebaskan Vietnam dari tangan penjajah, tetapi keberhasilan itu
hanya untuk masa yang singkat saja. Pihak Jepang menangkap pemerintah Perancis
dan memberikan Vietnam satu bentuk “kemerdekaan” sebagai sebagian dari rancangan
Jepang untuk "membebaskan" bumi Asia dari penjajahan barat. Banyak
bangunan diserahkan kepada kelompok-kelompok nasionalis.
Tahun
|
1967–1975
|
Lokasi
|
|
Hasil
|
Pihak yang terlibat Republik Khmer,
Amerika Serikat,
Republik Vietnam Khmer Rouge,
Republik Demokratik Vietnam,
Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan (NLF) Komandan Lon Nol Pol Po
Amerika Serikat,
Republik Vietnam Khmer Rouge,
Republik Demokratik Vietnam,
Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan (NLF) Komandan Lon Nol Pol Po
Masalah kamboja
Dengan
terjadinya perang di negara vietnam membawa pengaruh yang besar di bidang
politik di Asia Tenggara (Laos, Kamboja,Muangthai, Myanmar) Dalam Makalah ini
Penulis membahas tentang “ Perkembangan Politik di Negara Kamboja “
Perang saudara di
Kamboja ini adalah imbas dari Perang Vietnam.
Berdasarkan
Perjanjian Jenewa (1954) pasukan Vietminh yang ada di Kamboja akan ditarik
mundur dan kemidian akan diselenggarakan PEMILU tahun 1956 untuk menentukan
kehendak rakyat. Namun perselisihan tetap terjadi di Kamboja. Pangeran Norodom
Sihanouk condong kepada blok barat yang bertentangan dengan Son Ngoc Thah ketua
partai Demokrat. Ketika Norodom Sihanouk bersikeras untuk mengubah Undang –
Undang Dasar, pertentangan pun mencapai puncaknya.
Norodom
Sihanouk turun dari tahtanya dan digantikan oleh ayahnya yang bernama Raja
Norodom Suramarit. Pada tahun 1960 Norodom Sihanouk kembali memimpin Kamboja.
Pada tahun 1967, Norodom Sihanouk mengadakan perubahan Kabinet. Perdana Mentri
Jendral Lon Nol digantikan oleh Son Sann. Pada masa itu, hubungan Kamboja
dengan Amerika Serikat kurang baik. Bahkan Amerika Serikat menuduh Sihanouk
telah memberikan bantuan kepada pasukan Vietkong dan Vietnam utara untuk
melawan Amerika Serikat. Pada tahun 1970 Jendral Lon Nol berhasil merebut kekuasaan
dan Norodom Sihanouk dipaksa mengungsi ke Beijing (Cina). Pada tahun 1975
jendral Lon Nol digulingkan oleh pasukan Khamer Merah yang berhaluan komunis.
Pasukan khamer Merah dipimpin oleh Pol Pot dan berhasil menduduki ibukota
Kamboja, Phnon Penh pada bulan April 1975.
Pada tahun 1979, pasukan Vietnam melancarkan serbuan ke
Kamboja dan menggulingkan pemerintahan Khamer Merah yang condong kepada RRC.
Kemudian di Kamboja didirikan pemerintahan pro Vietnam dan Uni soviet di bawah
pemerintahan Heng Samrin. Namun
demikian, di Kamboja terdapat lawan-lawan Vietnam dan tetap meneruskan
perlawanan terhadap pemerintahan Heng Samrin dan Vietnam. Mereka adalah pasukan
Khamer Merah dipimpin Khiu Samphan, pasukan Moulika yang di pimpin oleh Nordom
Sihanouk (berhaluan non komunis), pasukan Front Pembebasan Rakyat Khamer
(KPNLF) di bawah pimpinan bekas Perdana Mentri Son Sann yang melakukan serangan
Gerilya. Ketiga gerakan tersebut sepakat untuk membentuk pemerintahan koalisasi
di Kamboja untuk mengakhiri pendudukan Vietnam.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
uraian di atas maka penulis merumuskan permasalahan dalam makalah ini sebagai
berikut :
Bagaimana Kamboja memperoleh kemerdekaan
?
Apa yang memicu perang Saudara di
Kamboja ?
Dosa-dosa apa sajakah yang dilakukan
Pemimpin Kamboja
Upaya apa yang dilakukan dalam
penyelesaian konflik Kamboja
C.
MAKSUT DAN TUJUAN PENULISAN
ü Untuk
mengetahui kronologi terjadinya perang saudara di Kamboja
ü Mengetahui
Gaya kepemimpinan dari kebijakan- kebijakan yang di ambil oleh para pemimpin
yang berkuasa di masa itu.
ü Mengetahui
sejauh mana peran Negara Indonesia dalam menyumbangkan peran aktifnya untuk
menyelesaikan masalah Kamboja
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Umum
KAMBOJA atau Kampuchea merupakan negara di
Asia Tenggara yang semula berbentuk Kerajaan di bawah kekuasaan Dinasti Khmer
di Semenanjung Indo-China antara Abad Ke-11 dan Abad Ke-14. Rakyat Kamboja
biasanya dikenal dengan sebutan Cambodian atau Khmer, yang mengacu pada etnis
Khmer di negara tersebut. Negara anggota ASEAN yang terkenal dengan pagoda
Angkor Wat ini berbatasan langsung dengan Thailand, Laos dan Vietnam. Sebagian
besar rakyat Kamboja beragama Buddha Theravada, yang turun-temurun dianut oleh
etnis Khmer. Namun, sebagian warganya juga ada yang beragama Islam dari
keturunan muslim Cham.
Kamboja menghebohkan dunia ketika komunis radikal Khmer Merah di bawah
pimpinan Pol Pot berkuasa pada tahun 1975. Saat itu, Pol Pot memproklamirkan
Kamboja sebagai sebuah negara baru. Ia menyebut tahun 1975 sebagai "Year
Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Tanggal 17 April
1975 dinyatakan sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol
yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru
merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja.
Merdeka dari Perancis
Pada tanggal 9 November 1953, Perancis mengakhiri
penjajahannya di Kamboja yang telah berlangsung sejak tahun 1863 dan Kamboja
pun menjadi sebuah negara berdaulat. Setahun kemudian mantan pemimpin negara
kawasan Indo-China itu, Raja Norodom Sihanouk, kembali dari pengasingannya di
Thailand. Sihanouk kemudian membentuk partai politik dan menggelar pemilihan
umum (pemilu). Setelah memenangkan pemilu ia berhasil mengusir orang-orang
komunis dan memperoleh seluruh kursi pemerintahan.
Pada tahun 1955, untuk melepaskan diri dari segala bentuk
pelarangan yang dibuat untuk raja oleh perundang-undangan Kamboja, Norodom
Sihanouk mengembalikan tahta kepada ayahnya, Norodom Suramarit. Ia kemudian
memasuki dunia politik. Selama pemilihan berturut-turut, pada tahun 1955,1958,
1962 dan 1966, partai bentukan Norodom Sihanouk selalu memenangkan kursi
mayoritas di parlemen.
Pada bulan Maret 1969, Pesawat Amerika mulai mengebom
Kamboja untuk menghalangi jejak dan penyusupan dari tentara Vietkong.
Pengeboman tersebut berakhir sampai tahun 1973.
Pada tahun 1970, ketika Sihanouk sedang berada di Moskow
dalam sebuah kunjungan kenegaraan, Marsekal Lon Nol melakukan kudeta di Phnom
Penh. Lon Nol lalu menghapus bentuk kerajaan dan menyatakan Kamboja sebagai
sebuah negara republik. Sihanouk tidak kembali ke negaranya dan memilih menetap
di Peking, China. Ia memimpin pemerintahan dalam pelarian dan Khmer Merah
merupakan bagian dari pemerintahan tersebut.
B. Dosa di Negara Kamboja
Pada saat Perang Vietnam tahun 1960-an, Kerajaan Kamboja
memilih untuk netral. Hal ini tidak dibiarkan oleh petinggi militer, yaitu
Jendral Lon Nol dan Pangeran Sirik Matak yang merupakan aliansi pro-AS
untuk menyingkirkan Norodom Sihanouk dari kekuasaannya. Dari Beijing, Norodom
Sihanouk memutuskan untuk beraliansi dengan gerombolan Khmer Merah, yang
bertujuan untuk menguasai kembali tahtanya yang direbut oleh Lon Nol. Hal
inilah yang memicu perang saudara timbul di Kamboja.
Peperangan di kamboja terus
berlangsung, kendati penyelesaian politik diupayakan lewat jakarta informal
meeting. khmer merah di bawah pol pot dan vietnam menanggung dosa, membantai
jutaan rakyat.
Dosa itu terletak pada kepemimpinan Khmer Merah di bawah Pol
Pot, yang selama tiga tahun (1975 sampai 1978) membantai 1,6 juta orang Kamboja
secara sistematis atas nama “kemurnian” bangsa Khmer baru karena Pol Pot yakin
bangsa Khmer yang “bersih, murni, baru” hanya bisa dibangun atas dasar
perhitungan tentang zaman baru yang dimulai dengan tahun nol. Ideologi
totalisme inilah biang keladi permasalahan pokok mengenai Kamboja selang
beberapa tahun terakhir.
Dari semula, dosa Pol Pot dan
kliknya dibantu RRC dan Amerika Serikat yang menfaatkan argumen hukum
internasional (yang kebetulan juga didukung rumus politik Gerakan Nonblok)
tentang tak layaknya suatu negara mencampuri urusan dalam negeri bangsa lain.
Di balik itu adalah rangkaian dendam kesumat yang tersimpan dalam dada pemimpin
RRC mengenai “kekuranganajaran” Vietnam memperlakukan orang-orang Cina selama
1975- 1978.
C. FAKTA-FAKTA KORBAN PRANG KAMBOJA
Ø sejarah kelam kamboja "killing
fields"
Nyaris
tiga dasawarsa berlalu sejak rezim Khmer Merah di bawah Pol Pot digulingkan.
Tetapi, sejarah kelam kebrutalan rezim komunis yang berkuasa pada 1975-1979 itu
belum bisa sepenuhnya dihapus dari ingatan rakyat Kamboja maupun dunia
internasional. Tidak heran, bagi wisatawan yang singgah di Kamboja,
lokasi-lokasi bekas peninggalan rezim Khmer Merah sangat diminati untuk
disinggahi. Kamp penyiksaan Tuol Sleng serta "ladang pembantaian"
(killing field) Choeung Ek adalah dua dari segudang bukti kekejaman Pol Pot
yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Choeung
Ek adalah 'ladang pembantaian' yang digunakan rezim Khmer Merah selama empat
tahun, sebagai lokasi eksekusi orang-orang berpendidikan tinggi dari Phnom
Penh.
Ada
sekitar 20.000 orang dieksekusi di situ. "Sebagian besar korban yang dieksekusi
adalah dokter, pengacara, insinyur, guru, diplomat tinggi, serta kalangan
profesional lain," kata Kosal, lulusan Cambodia Mekong University. Mereka
yang dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim Lon Nol, yakni pemerintah
dukungan AS, tetapi dikenal sangat buruk dan korup. Tanpa pandang bulu, mereka
yang diketahui punya ide dan pandangan politik berbeda dengan Pol Pot,
ditangkap dan dieksekusi. Penangkapan bahkan kerap terjadi pada orang yang
hanya karena berpenampilan intelektual, antara lain dapat berbahasa asing,
punya telapak tangan halus, berkaca mata, serta bermata pencarian bukan buruh,
petani, atau pekerjaan-pekerjaan kasar lain.
Choeung
Ek, yang awalnya lokasi pemakaman warga Tionghoa, berada di kawasan seluas
sekitar 2,5 hektare. Sebetulnya, "ladang pembantaian" Choeung Ek
berada di sebuah lahan terbuka yang sangat luas. Tetapi setelah dilakukan
penggalian kuburan massal, Pemerintah Kamboja menetapkan bahwa ladang
pembantaian itu berada di lokasi seluas 2,5 hektare. Setelah jatuhnya rezim Pol
Pot pada 1979, ada 86 dari total 129 kuburan massal di Choeung Ek berhasil
digali. Sebanyak 8.985 mayat ditemukan di lokasi kuburan massal tersebut.
Cabikan
pakaian korban pembantaian hingga kini masih tampak menyembul di sela-sela
tanah. Rumput-rumput liar menyelimuti permukaan tanah yang dipenuhi
cerukan-cerukan bekas kuburan. Serpihan tulang mudah ditemukan, bertebaran di
seantero lahan. Pakaian para korban eksekusi yang lusuh dan lapuk dibiarkan
teronggok di bawah pepohonan. Situasi memang tidak diubah agar pengunjung dapat
menangkap atmosfer yang memilukan. anak-anak juga menjadi korban.
·
Anak-anak
juga menjadi korban
Dari kondisi tengkorak para korban, setidaknya bisa
diketahui eksekusi dilakukan sangat brutal. "Eksekusi dilakukan tidak dengan
ditembak atau cara-cara lain yang dapat menimbulkan kegaduhan. Korban secara
berkelompok digiring ke pinggir lobang kuburan massal lalu dieksekusi dengan
alat-alat pertanian, misalnya cangkul atau pacul, yang dihantamkan ke bagian
kepala," tutur Kosal.
Musik diputar keras-keras dari megafon yang
digantung di "pohon ajaib", untuk meredam lolongan kesakitan. Korban
tidak bisa melarikan diri karena tangan dan kaki dibelenggu, sementara mata
ditutup rapat.
Fakta pembantaian intelektual Kamboja terbilang mengherankan.
Tidak kurang Donna Baker, diplomat dari Kementerian Luar Negeri Australia yang
ikut bersama para wartawan ke Tuol Sleng dan Choeung Ek, juga mempertanyakan
hal itu. "Di Rusia, yang juga negara komunis, para intelektual tetap
diperkenankan hidup. Mengapa di Kamboja mereka semua dibantai? Apa karena
mereka sebelumnya bekerja di bawah rezim Lon Nol?" kata Donna.
Dari penyelidikan pascajatuhnya Pol Pot, yang
bernama asli Saloth Sar, diyakini dia ingin mengembangkan komunisme ekstrem.
Rezim Pol Pot ingin membangun segala sesuatunya dari awal. Maka, pada 17 April
1975, Kamboja diproklamasikan Pol Pot sebagai negara baru. Ia menyebut tahun
1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik
nol. Pol Pot memproklamasikan 17 April 1975 sebagai Hari Pembebasan (Liberation
Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang
dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja
Banyak tentara Khmer Merah akhirnya menyadari ada
yang salah dari ideologi komunis ala Pol Pot. Mereka melarikan diri dari
Kamboja dan bergabung dengan pasukan Vietnam untuk menggulingkan rezim brutal
itu. Pol Pot jatuh di tangan tentaranya sendiri yang membelot ke Vietnam. 7
Januari 1979 adalah hari pembebasan dari cengkeraman rezim Khmer Merah. Banyak
tentara Khmer Merah yang diperkenankan bergabung dengan pemerintahan Kamboja
pasca Pol Pot. PM Hun Sen, misalnya, dulu adalah deputi komandan resimen Khmer
Merah. Tetapi, ia kabur ke Vietnam pada 1977.
Penegakan hukum tetap diberlakukan ke sejumlah
pemimpin papan atas Khmer Merah yang berwatak kriminal, khususnya Deuch yang
bernama asli Kaing Khek Iev. Pada 1975-1979, Deuch menjabat sebagai Direktur
S-21. Sejak 1999, Deuch mendekam di tahanan menanti persidangan atas
pelanggaran HAM.
Harus diakui, menapaki jejak peninggalan rezim Khmer
Merah sungguh tidak nyaman. Perut terasa mual. Tetapi, wisata ke Tuol Sleng dan
"ladang pembantaian" Choeung Ek setidaknya bisa mengingatkan kita
pada sejarah kebrutalan pada masa lalu, yang seharusnya tidak terulang kembali.
foto tengkorak korban pembantaian khmer-merah
D.
Penyelesaikan
Masalah Kamboja
Pada tahun 1970 di Kamboja terjadi kudeta. Pada waktu itu
Kamboja dipimpin oleh Pangeran Norodom Sihanouk. Pada tanggal 18 Maret 1970 ketika
Pangeran Norodom Sihanouk berada di luar negeri, keponakannya yang bernama
Pangeran Sisowath Sirik Matak bersama Lo Nol melakukan kudeta atau perebutan
kekuasaan. Sejak peristiwa tersebut terjadi perang
saudara yang berlangsung lama dan berlarut-larut. Keadaan Kamboja menjadi porak poranda, rakyatnya sangat menderita.
saudara yang berlangsung lama dan berlarut-larut. Keadaan Kamboja menjadi porak poranda, rakyatnya sangat menderita.
Melihat kejadian yang berlarut-larut di Kamboja tersebut,
Indonesia berusaha untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai atau berperang
dengan cara mempertemukan mereka dalam suatu perundingan. Akhirnya, dibentuklah
Jakarta Informal Meeting (JIM). Artinya, pertemuan tidak resmi yang diadakan di
Jakarta tahun 1988. Pertemuan di Jakarta dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Ali
Alatas sebagai penengah di antara pihak-pihak yang bertikai. Dengan adanya
pertemuan tersebut pihak-pihak yang bertikai bersepakat untuk melakukan
perdamaian. Pertemuan di Jakarta itu kemudian ditindaklanjuti dengan
diselenggarakannya perundingan perdamaian di Paris, Prancis pada tahun 1989
diselenggarakannya perundingan perdamaian di Paris, Prancis pada tahun 1989
The Paris International Conference on Cambodia pada tahun
1991 yang menandai berakhirnya konflik Kamboja. Secara garis besar pembahasan
dalam penyelesaian masalah Kamboja ini dibagi kedalam empat bagian yakni
faktor-faktor yang menjadi akar konflik di Kamboja, konflik Kamboja sebagai konflik
internal yang akan memberikan gambaran akan latar belakang konflik sejak awal
mula terjadinya pergolakan di dalam negeri sehingga Kamboja terjerumus ke dalam
konflik internal hingga akhirnya klimaks dari konflik ditandai dengan
intervensi Vietnam ke Kamboja yang mengundang reaksi keras dari negara-negara
di kawasan serta komunitas internasional, internasionalisasi konflik Kamboja
yang akan menjelaskan bagaimana fase konflik memasuki tahap internasionalisasi
di mana pendudukan rezim Vietnam di Kamboja tidak hanya mengganggu stabilitas
keamanan di kawasan, namun juga menentang norma-norma dan hukum internasional
yang berlaku sehingga mengganggu perdamaian dunia, proses penyelesaian konflik
Kamboja melalui fase dialog dan mediasi terhitung sejak digelarnya Jakarta
Informal Meeting di Indonesia pada tahun 1988.
1. INTERNASIONALISAI KONFLIK KAMBOJA
Pasca invasi rezim Vietnam yang mendirikan pemerintahannya
melalui People’s Republic of Kampuchea (PRK) maka spontan hal ini mendapatkan
reaksi yang keras dari komunitas internasional. Hal yang menjadi esensi dalam
perkembangan konflik di Kamboja ini yaitu kendati dunia telah mengutuk tindakan
yang dilakukan oleh DK melalui perbuatan ketidakmanusiannya, namun intervensi
kekuatan asing melalui penggunakan kekuatan militernya untuk menjatuhkan rezim
yang tengah menjadi sorotan dunia tersebut tetap tidak dapat dibenarkan.
Gambar : Bendera Negara Kamboja
Konflik di Kamboja selanjutnya memasuki tahap internasionalisasi yang intensif, di mana tahun-tahun berikutnya perkembangan konflik diwarnai dengan pergolakan di dalam negeri melalui pihak-pihak oposisi yang masing-masing berupaya untuk mengumpulkan kekuatan demi menjatuhkan pemerintahan PRK yang tak lain merupakan kepanjangan tangan Vietnam di Kamboja. Sementara itu, komunitas dunia dalam kerangka regional maupun global mulai meningkatkan perhatiannya terhadap konflik yang telah mencapai antiklimaks. ASEAN sebagai organisasi regional menyadari bahwa implikasi dari pendudukan Vietnam terhadap Kamboja telah merusak visinya untuk menjadikan suatu komunitas Asia Tenggara yang kelak juga akan mengikut sertakan Vietnam, Kamboja dan Laos. Invasi ini juga menjadi perhatian utama ASEAN sebagai aksi solidaritas, Vietnam telah mengancam keamanan Thailand sebagai salah satu anggota ASEAN yang berbatasan langsung dengan Kamboja.
Namun demikian, ASEAN tetap menjaga berbagai batasan yang
dihadapi dalam upayanya untuk menyelesaikan konflik. Hal ini dilandasi pada
pemikiran bahwa konflik Kamboja pada dasarnya merupakan konflik internal antara
kelompok-kelompok Khmer yang mana ASEAN sebagai pihak luar tidak memiliki
kewenangan untuk menghalangi atau turut campur.
Untuk itu ASEAN lebih mencoba untuk memanfaatkan pengaruhnya
melalui lobi anggota komunitas internasional serta memobilisasi dukungan
melalui diplomasi kolektif di forum internasional. Selanjutnya upaya ASEAN
untuk menyatukan dukungan dari forum internasional pada akhirnya berhasil
tersalurkan ketika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Juli tahun 1981
menggelar Konferensi Internasional untuk Kamboja yang dikenal dengan nama
International Conference on Kampuchea (ICK). Inilah untuk pertama kali
konferensi tingkat internasional digelar untuk merespon dinamika konflik yang
tengah bergejolak di Kamboja, sehingga konferensi ini bertujuan untuk menemukan
solusi penyelesaian politik yang komprehensif dalam forum multilateral.
2. PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN MASALAH KAMBOJA
2. PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN MASALAH KAMBOJA
Upaya menuju penyelesaian politik yang menyeluruh dimulai
pada tahap regional, di mana dalam menyikapi konflik Kamboja, ASEAN meletakan
dasar pemikirannya atas dua hal yaitu, dinamika politik, ekonomi, dan sosial
dalam tubuh ASEAN sendiri, dan tingkat encaman eksternal serta situasi regional
ataupun internasional yang dapat berpengaruh terhadap persepsi ASEAN dalam penyelesaian
masalah tersebut.
Pada tingkat regional, dimulai sejak masa jatuhnya rezim
pemerintaan Pangeran Sihanouk di tahun 1970, para Menteri Luar Negeri ASEAN
telah mencoba untuk membahas secara intensif konflik yang mulai marak di
Kamboja. Negara-negara yang tergabung dalam forum ASEAN ini berupaya untuk
mencapai suatu kesepakatan bersama agar dapat merumuskan formulasi yang tepat,
sehingga pada mulanya organisasi ini dapat berfungsi sebagai mediator untuk
mendamaikan pihak-pihak yang bertikai pada saat itu. Negara-negara menginginkan
agar seyogyanya setiap pihak dapat bekerja sama dalam mencegah semakin luasnya
konflik yang melanda Kamboja sebagai penghormatan atas Piagam PBB dan juga
Konferensi Jenewa tahun 1954 mengenai kawasan Indochina demi menciptakan
suasana yang kondusif di Kamboja. Terhitung sejak dibentuknya CGDK sebagai
koalisi pemerintahan pada tahun 1982, negara-negara ASEAN secara aktif
mendukung resolusi PBB yang mengakui CGDK sebagai badan pemerintah yang sah di
Kamboja, dan untuk itu memiliki legitimasi dan hak untuk duduk di Majelis Umum
PBB sebagai wakil Kamboja. ASEAN melalui para Menlunya pada tanggal 21
September 1983 mengeluarkan keputusan bersama terhadap upaya rekonsiliasi di
Indochina dengan penarikan keluar pasukan Vietnam dari Kamboja dengan batas
waktu yang ditentukan.
Selanjutnya dalam komunikasi bersama pertemuan tingkat
menteri ASEAN ke 17 yang digelar di Jakarta tanggal 9-10 Juli 1984, para menlu
ASEAN menegaskan kembali posisi mereka untuk mencari penyelesaian politik yang
komprehensif dan menguatkan keabsahan kemerdekaan Kamboja pada 21 September
1983 sebagai dasar dari penyelesaian politik yang menyeluruh di Kamboja. Hal
ini kembali ditegaskan pada serangkaian pertemuan Menlu ASEAN berikutnya yaitu
di Jakarta pada November 1983, di Kuala Lumpur pada bulan Desember 1983 dan
kembali di Jakarta pada bulan Januari 1984.
Selanjutnya ASEAN mengajukan prakarsa untuk mengundang
faksi-faksi yang bertikai di Kamboja agar turut hadir pada peringatan 30 Tahun
Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1985. Dalam pertemuan ini
Indonesia dan Malaysia kembali memiliki kesamaan pandangan terhadap
penyelesaian konflik Kamboja dengan mencetuskan gagasan Proximity Talks. Pada
intinya usulan yang berada di bawah ruang lingkup ASEAN ini bertujuan untuk
mempertemukan semua faksi yang bertikai di Kamboja ditambah dengan Vietnam
untuk bernegosiasi.
Bagi ASEAN sendiri, upaya ini dilandaskan pada konsep Zone
of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) yang dicanangkan pada tahun 1971.
ZOPFAN menjamin perdamaian, keamanan serta kedaulatan bersama negara-negara di
kawasan Asia Tenggara yang netral dan bebas dari campur tangan pihak luar. Di
tingkat global, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1981, PBB
menggelar Konferensi Internasional untuk Kampuchea (ICK) yang walaupun dinilai
tidak terlalu berhasil, namun konferensi ini telah membangun suatu pondasi
prakarsa untuk secara konsensus mengupayakan solusi yang komprehensif untuk
memelihara perdamaian dan keamanan dunia.
Gagasan pembicaraan intensif antara ASEAN dan pihak-pihak
yang bertikai di Kamboja yaitu CGDK dan pemerintahan Heng Samrin di Phnom Penh
pada perkembangannya kurang mendapat dukungan dan menemui jalan buntu, baik
secara kolektif dari negara-negara ASEAN, maupun dari pihak CGDK dan Vietnam
sendiri. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada bulan September 1985, Sihanouk
mengusulkan suatu Cocktail Party yang dapat mengakomodir pihak-pihak yang
bersengketa di Kamboja beserta negara-negara yang terkait untuk dapat membicarakan
penyelesaian masalah Kamboja.
Pada bulan November 1985 atau kurang lebih dua bulan setelah
itu, Indonesia menyatakan kesediaannya untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan
Cocktail Party tersebut. Terhitung sejak wacana Cocktail Party direncanakan,
hingga penentuan tanggal pelaksanaan acara tercatat serangkaian kendala yang
berpotensi untuk menggagalkan penyelenggaraan acara dimaksud. Munculnya
berbagai kendala ini tak lain disebabkan oleh perbedaan pendapat dan agenda
kepentingan masing-masing pihak yang bertikai Kendati jalan panjang dan
melelahkan harus dilewati untuk merealisasikan rencana gagasan pertemuan
tersebut, akhirnya rencana pertemuan resmi pertama tersebut berhasil diadakan
pada tanggal 25–28 Juli 1988 di Bogor, Indonesia.
Pertemuan yang dikenal dengan Jakarta Informal Meeting I
(JIM I) ini menampilkan terobosan untuk pertama kalinya, di mana pihak-pihak
yang secara langsung terlibat di dalam konflik, yaitu keempat faksi, kedua
tetangga Indochina dan enam negara ASEAN bertemu untuk mendiskusikan
elemen-elemen mekanisme penyelesaian awal. Sekalipun pembicaraan antar faksi
berjalan cukup alot karena masing-masing bersikeras mempertahankan posisinya,
namun hasil dari pertemuan ini dinilai cukup efektif untuk menyepakati persepsi
dan kesepahaman bersama sehingga beberapa rekomendasi dapat dilahirkan dengan
penekanan pada pemisahan dua isu yaitu berkaitan dengan invasi Vietnam, Vietnam
untuk menarik mundur pasukannya dari Kamboja sebagai itikad baik penyelesaian
konflik, kesepahaman mengenai pentingnya pencegahan berkuasanya kembali rezim
Pol Pot yang telah mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Kamboja, pembentukan
kelompok kerja guna membahas elemen-elemen dasar dari konflik itu sendiri dan
menyusun usulan-usulan sebegai bahan masukan bagi pertemuan selanjutnya.
Dalam rangka menindaklanjuti JIM I, pada tanggal 16-18
Februari 1989 digelar JIM II yang turut dihadiri oleh negara-negara peserta JIM
I. Pada pertemuan ini dapat disepakati berbagai kemajuan yang bersifat teknis
sebagai tindak lanjut dan penyeragaman persepsi dari hasil pertemuan pertama.
Beberapa hasil yang menonjol diantaranya adalah penarikan seluruh pasukan
Vietnam yang harus segera dilakukan dengan batas waktu 30 September 1989
sebagai bagian dari kerangka penyelesaian politik yang menyeluruh. Kemudian
dibahas pula mengenai himbauan penghentian keterlibatan pihak asing termasuk
dukungan militer dan persenjataan terhadap masing-masing pihak yang bertikai di
Kamboja.
Demi terselenggaranya rencana ini dengan baik, maka perlu
dibentuk suatu mekanisme pengawasan internasional yang memiliki mandat untuk
memonitor jalannya proses ini dan aspek-aspek yang terkait lainnya. Selanjutnya
adalah penentuan langkah-langkah konkrit yang harus diambil guna mengantisipasi
munculnya kembali kebijakan rezim kekerasan dan kekejaman yang dapat
mengakibatkan kesengsaraan masyarakat Kamboja, dan yang tidak ketinggalan
adalah kesepakatan dari setiap pihak untuk dimulainya program internasional
dalam rangka pemulihan dan pembangunan ekonomi di Kamboja serta negara-negara
di kawasan dan pengumpulan dana dalam rangka pelaksanaan proses perdamaian di
Kamboja. Pertemuan ASEAN di Brunei pada tanggal 3-4 Juli 1989 telah
memformulasikan suatu pijakan bersama atas konflik Kamboja sebagai hasil dari
pertemuan JIM I dan JIM II. 3. PERAN PBB DAN ANGGOTA KOMUNITAS INTERNASIONAL
LAINNYA
Selain peran ASEAN sebagai aktor eksternal yang memberikan
kontribusi terhadap penyelesaian konflik Kamboja, menjelang akhir tahun
1980-an, fokus perhatian telah bergeser dari inisiatif regional menuju
internasional. Hal ini ditandai dengan perubahan-perubahan pola interaksi baik
dari masing-masing pihak yang berselisih, antara aktor-aktor regional di
kawasan Asia Tenggara, hingga negara-negara besar juga merasa berkepentingan
untuk memberikan andil terhadap upaya proses penyelesain konflik seperti
Perancis dan Australia.
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai peran PBB dan anggota
komunitas internasional lainnya yang bersama-sama dengan ASEAN telah memberikan
andil yang signifikan terhadap proses tercapainya resolusi konflik.
Faktor-faktor pendukung kesuksesan dalam penyelesaian konflik yang menyeluruh
dapat disandangkan pada pembentukan Supreme National Council (SNC) dan United
Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC).
Kiprah PBB dalam mengupayakan perdamaian di Kamboja diawali
dengan diselenggarakannya International Conference on Kampuchea pada tahun
1981. Namun seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, inisiatif ini
gagal untuk menghadirkan negara-negara pendukung Vietnam untuk hadir.
Konsep untuk memperluas kerangka penyelesaian secara
internasional pun mendapat dukungan dari negara-negara anggota ASEAN seperti
yang disepakati bersama pada pertemuan tingkat menteri ASEAN di Bandar Seri
Begawan tanggal 21 Januari 1989. Dalam kesepakatan itu, negara-negara ASEAN
mulai memandang perlunya melibatkan negara-negara di luar kawasan dan juga
perlu diadakannya suatu konferensi internasional untuk menindaklanjuti hasil
pencapaian dari JIM yang diadakan di Indonesia. Hal ini disambut baik oleh
Perancis yang juga memiliki sejarah kedekatan dengan Kamboja.
Perancis kemudian menggagas prakarsa untuk menyelenggarakan
konferensi internasional mengenai Kamboja. Tanpa bermaksud untuk menampik peran
Indonesia sebagai partner yang mengantar upaya penyelesaian konflik Kamboja
sampai tahapan ini, maka kedua negara memutuskan untuk mengetuai bersama
penyelenggaraan Paris International Conference on Cambodia (PIC) di Perancis
pada tanggal 30-31 Juli 1989 di Paris, Perancis. Pertemuan yang diketuai
bersama oleh Perancis dan Indonesia tersebut turut didukung oleh ASEAN yang
bersama dengan 19 negara lainnya berasal baik di dalam kawasan dan juga di luar
kawasan yang untuk pertama kalinya turut berpartisipasi dalam pembicaraan
lanjutan dari JIM I dan JIM II. Dengan turut hadirnya negara–negara di luar
kawasan, maka kerangka dialog dan negosiasi telah semakin diperluas, dan
menandakan bahwa tahapan penyelesaian konflik telah mencapai tingkat
internasional. Kemajuan ini diharapkan akan membawa warna baru terhadap pola
komunikasi, guna segera tercapainya suatu solusi yang konkrit. Hal ini terbukti
melalui hasil yang dicapai pada PIC di mana telah disusun sebuah kerangka
pembentukan suatu mekanisme pengawasan internasional yang berfungsi untuk mengawasi
proses penarikan mundur pasukan Vietnam dan memantau berbagai permasalahan
dalam negeri Kamboja.
Namun serangkaian dialog dan negosiasi tersebut masih tetap
belum dapat mencapai hasil yang konkrit dan bentuk penyelesaian yang pasti
dalam penyelesaian konflik. Satu kemajuan yang dinilai sangat berarti yaitu
walaupun terjadi banyaknya kebuntuan melalui media diplomasi. Vietnam tetap
memenuhi komitmennya untuk menarik mundur seluruh pasukannya dalam batas waktu
yang ditentukan yaitu September 1989.
Inisiatif berskala international telah digagas dan
diselenggarakan. Namun fakta di lapangan tidak kunjung menampakan perubahan
yang lebih baik. Faksi-faksi yang bertikai kembali terlibat dalam peperangan di
Kamboja. Melihat kondisi ini, pihak Australia mengajukan usul mengenai
pembentukan suatu badan pengawasan oleh PBB yaitu International Control
Commision and Supervision (ICCS) dengan tujuan agar Dewan Keamanan PBB dapat
lebih menjajaki aspek penyelesaian konflik secara lebih komprehensif. Hal ini
tentunya hanya dapat dilakukan dengan mekanisme pengosongan kursi Kamboja di
PBB yang selama ini diisi oleh CGDK serta meniadakan kedaulatan rezim
pemerintahan Phnom Penh yang dipimpin oleh Hun Sen. Menindaklanjuti usulan
tersebut, lima anggota Dewan Keamanan PBB (DK PBB) kemudian menjajaki kerangka
pemerintahan sementara di Kamboja yang aktif bertugas hingga terselenggaranya
pemilihan umum.
Melalui berbagai perkembangan tersebut, diselenggarakanlah
pertemuan selanjutnya Informal Meeting on Cambodia (IMC) di Jakarta pada
tanggal 26-28 Februari 1990. Pertemuan ini dipimpin oleh Menlu Ali Alatas dan
berkomposisi peserta yang tidak jauh berbeda dengan peserta pada PIC, hanya
ditambah dengan seorang utusan khusus Sekjen PBB Raefuddin Ahmed serta undangan
khusus bagi pihak Australia atas apresiasi terhadap usulan yang digagasnya,
Australia bertindak sebagai resource delegation, dimana Menlu Australia Gareth
Evans yang turut hadir bertindak sebagai narasumber.
Seperti halnya kegagalan yang dicapai pada PIC, hal ini
kembali terulang pada IMC di Jakarta. Pertemuan tersebut tidak mampu untuk
mencapai suatu kesepakatan bersama karena pemimpin Khmer Merah, Khieu Sampan
menolak pencantuman kata genosida dalam naskah kesepakatan yang telah dirancang
dan mendapatkan persetujuan dari seluruh peserta. Di lain pihak, Hun Sen juga
menyatakan tidak bersedia untuk menerima referensi Vietnamisasi pada rancangan
naskah tersebut. Dengan demikian teks komunike bersama tersebut praktis menjadi
gugur. Hal ini disebabkan karena sistem pengambilan keputusan didasarkan pada
kebulatan suara sekalipun secara prinsip, pertemuan telah berhasil mencapai
kemajuan-kemajuan yang signifikan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Kendati tidak menghasilkan suatu dokumen atau kesepakatan
yang bisa dijadikan landasan bagi usaha penyelesaian selanjutnya, namun dapat
dicatat bahwa hasil yang menonjol dari pembahasan tersebut adalah persetujuan
seluruh pihak atas pembentukan Dewan Agung Nasional atau Supreme National
Council (SNC) yang akan bertindak sebagai pemerintah sementara di Kamboja.
Terobosan ini tak disangkal mencatat kemajuan yang sangat signifikan sebagai
lambang kedaulatan dan kesatuan nasional Kamboja. Sementara itu, komposisi
jabatan dan tanggung jawab dari SNC itu sendiri akan ditentukan kemudian oleh
keempat faksi.
SNC dipastikan akan mendapat dukungan dari dunia
internasional. Dalam rangka mensukseskan rencana ini, maka peran negara besar
seperti Amerika Serikat sangatlah dibutuhkan mendorong CGDK agar rela turun
dari kursinya di PBB sehingga dapat memberi kesempatan kepada SNC untuk
mewakili kursi Kamboja baik di Majelis Umum PBB ataupun di badan-badan khusus
lainnya dan memberikan tekanan kepada musuh lamanya yaitu Vietnam agar bersedia
untuk segera menyelesaikan masalah Kamboja. Dalam kaitan ini, pihak Amerika
Serikat yang belum lama ini keluar sebagai pemenang dalam masa Perang Dingin,
maka perubahan politik dunia ini secara tidak langsung akan meningkatkan
pengaruh pihak Amerika Serikat terhadap proses penyelesaian konflik di Kamboja.
Dalam konteks proses negosiasi dapat dikatakan bahwa upaya
yang dilakukan oleh pihak Perancis untuk melibatkan komunitas internasional
melalui PIC belum dapat menghasilkan terobosan-terobosan baru demi tercapainya
penyelesaian yang menyeluruh atas konflik di Kamboja. Apabila dibandingkan
dengan pendekatan-pendekatan informal yang dilakukan oleh Indonesia dan ASEAN
pada tahapan-tahapan awal yaitu untuk mempertemukan keempat faksi yang bertikai
agar dapat duduk bersama di JIM dan IMC. Kemajuan yang sangat terbatas ini hanya
berdampak pada penderitaan rakyat Kamboja yang semakin berkepanjangan.
Pertikaian yang menggunakan kekerasan masih kerap terjadi, baik di dalam tubuh
CGDK sendiri ataupun antara faksi yang tergabung dalam CGDK dengan rezim Phnom
Penh dukungan Vietnam.
Atas dasar perkembangan di atas, maka diadakanlah IMC kedua
pada tanggal 9-10 September 1990 di Jakarta. Pada pertemuan ini kembali
Indonesia dan Perancis bertindak sebagai ketua bersama. Seperti yang sudah
dirancang sebelumnya, Dewan Keamanan membentuk SNC (Supreme National Council)
yang bertindak sebagai wakil pemerintahan yang sah atas Kamboja di forum
internasional. Dalam pernyataan bersama yang dihasilkan pada pertemuan ini,
secara kompromi seluruh faksi yang bertikai di Kamboja menanggapi secara positif
kerangka kerja ini sebagai basis dari skema penyelesaian komprehensif.
Pembentukan SNC berkomposisi dua belas anggota yang terdiri
dari enam anggota State of Cambodia (SOC) dan dua dari masing-masing ketiga
faksi dalam Government of Cambodia (NGC). Kesepakatan yang berhasil dicapai ini
kemudian didukung oleh Dewan Keamanan, yang langsung mengadopsi suatu resolusi
PBB guna mengesahkan kerangka kerja tersebut sebagai basis dari suatu
penyelesaian yang komprehensif di Kamboja (Resolusi No. 668 Th.1990).
Pasca pembentukan SNC oleh Dewan Keamanan, Sekjen PBB
kemudian menggagas dibentuknya United Nations Advance Mission in Cambodia
(UNAMIC) yang memiliki fungsi untuk memantau pelaksanaan gencatan senjata
masing-masing faksi di Kamboja selama periode pembentukan United Nations
Transitional Authority in Cambodia (UNTAC). Usulan ini kemudian disahkan oleh
Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi No. 717 tanggal 16 Oktober 1991, dan
pembentukan UNAMIC segera diaktifkan setelah ditandatanganinya comprehensive
settlement agreements. Perkembangan selanjutnya, diusulkanlah penyelenggaraan
pertemuan lanjutan untuk membantu memformulasikan suatu pijakan final bersama
atas konflik Kamboja. Kemudian lima anggota Dewan Keamanan PBB mengajukan suatu
dokumen yang berjudul ’Framework for a Comprehensive Political Settlement of
the Cambodian Conflict’ yang diantara isinya mengajukan ketentuan untuk
membentuk otoritas transisional PBB di Kamboja atau UNTAC. UNTAC ditujukan
untuk mengimplementasikan penyelesaian yang komprehensif dalam rangka
memastikan situasi yang kondusif dalam lingkungan politis yang netral sehingga
pemilihan umum dapat terlaksana dengan bebas dan adil. Pihak-pihak serta
lembaga-lembaga administrasi pemerintah yang memiliki wewenang terhadap
pelaksanaan pemilu, akan diawasi langsung oleh UNTAC. Namun yang menjadi tugas
utama dari UNTAC adalah pengawasan genjatan senjata antara faksi-faksi yang
bertikai dan memverifikasi penarikan mundur pasukan asing dari Kamboja.
Dari seluruh uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa konflik Kamboja telah melewati suatu metamorfosa atau proses pembentukan
yang telah mencapai kematangan. Historis konflik Kamboja yang panjang akhirnya
berhasil diselesaikan melalui upaya mediasi yang komprehensif melalui
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh para mediator dengan didasarkan pada
hukum-hukum internasional yang berlaku. Serangkaian pembicaraan formal dan non
formal yang melibatkan banyak pihak pada akhirnya mampu melahirkan kesepakatan
Paris yang ditandatangani dalam Paris International Conference on Cambodia pada
tahun 1991. Kesepakatan Paris telah muncul sebagai suatu kerangka kerja yang
sah bagi penyelesaian konflik Kamboja sekaligus menjadi pertanda berakhirnya
konflik berkepanjangan di Kamboja.
Kesepakatan Paris yang merupakan hasil akhir dari rangkaian
proses perdamaian Kamboja selanjutnya menandai suatu awal baru bagi kehidupan
Kamboja selanjutnya. Kesepakatan Paris tersebut mencakup hal-hal sebagai
berikut:
a.
Final
act konferensi Paris mengenai Kamboja.
b.
Persetujuan
tentang penyelesaian masalah politik secara menyeluruh konflik Kamboja berikut
lampiran-lampirannya berupa mandat UNTAC, masalah militer, pemilihan umum,
repatriasi para pengungsi Kamboja, dan prinsip-prinsip konstitusi baru Kamboja.
c.
Kesepakatan
tentang kedaulatan, kemerdekaan, integrasi wilayah, netralitas, dan keutuhan
nasional Kamboja.
d.
Deklarasi
mengenai rehabilitasi dan pembangunan Kamboja.
Setelah naskah kesepakatan tersebut ditandatangani semua
pihak, dua naskah asli dari kesepakatan tersebut disimpan oleh Indonesia dan
Perancis sebagai ketua bersama, untuk kemudian hasilnya dilaporkan kepada
Sekjen PBB sebelum dibahas pada sidang DK PBB. Selanjutnya, naskah akan
diajukan ke Sidang Umum PBB untuk pelaksanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
BAB
III
KESIMPULAN
Kamboja
mendapatkan kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1953 dengan Raja Norodhom
Cihanoek . Norodhom Cihanoek memutuskan untuk beraliansi dengan gerombolan
Khamer Merah untuk merebut tahtanya yang diambil oleh Lon Nol. Hal ini lah yang memicu perang
saudara di Kamboja. Pada saat memangku jabatan para pemimpin negara Kamboja
melaksanakan sistem pemerintahan secara kejam terhadap rakyat – rakyatnya.
Negara Kamboja menerapkan sistem agraris murni sehingga terjadi peristiwa
“Killing Fieald”. Khamer Merah dibawah Pol Pot dan Vietnam menanggung dosa atas
terjadinya peristiwa yang memilukan bagi seluruh rakyat yang tinggal di negara
itu. Peristiwa itu di kenal dengan pembantaian. Pembantaian yang di laksanakan
di massa kepemimpinan Khamer Merah yang
di bawahi oleh Pol Pot selama 3 tahun (1975 – 1978) telah memmbantai 1,6 juta
orang di Kamboja. Korban yang dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim
Lon Nol. Sebagian besar korbannya dieksekusi ialah
dokter,pengacara,insinyur.guru,diplomat tinggi serta kalangan profesional.
Kemudian janazah para korban itu di makamkan di kawasan Choeung Ek seluas 2,5
hektar. Beberapa konferensi telah di lakukan untuk untuk mengatasi masalah
konflik di Kamboja. Diantaranya adalah CGDK,JIM,SNC. Konflik Kamboja dapat di
selesaikan melalui konferensi “The Paris International Conference On Combodia”
pada tahun 1991. Kesepakatan Paris yang merupakan hasil akhir dari rangkaian
proses perdamaian kamboja selanjutnya menandai suatu awal baru bagi kehidupan
kamboja berikutnya.